

Rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) terapung di Danau Sinkarak mendapat tentangan keras dari masyarakat Maralo di Kecamatan Batipu, Tanah Dattanam, Sumatera Barat. Proyek yang diharapkan masuk dalam Rencana Strategis Nasional (PSN) dengan nilai investasi Rp 50 triliun itu dinilai menimbulkan ancaman terhadap lingkungan dan perlindungan ekosistem danau.
Tokoh masyarakat Maralo, Nasrul, dengan tegas menolak. “Kami ingin menjaga kelestarian lingkungan. Kami menentang keras pembangunan PLTS di Danau Sinkarak,” ujarnya, Kamis (26/12).
Menurut dia, 13 desa di sekitar Danau Singkarak sudah sepakat menolak rencana tersebut. Meski mendukung konsep energi terbarukan pemerintah, mereka menuntut agar PLTS dibangun di lokasi lain yang tidak mengganggu ekosistem lingkungan.
“Kami tidak menolak energi baru, tapi kami tidak menolak Danau Karak Baru. Kami mencari tempat lain yang jauh dari ekosistem,” tegasnya.
Penolakan tersebut bukan tanpa alasan. Pasalnya, warga trauma dengan dampak negatif proyek pembangkit listrik tenaga air terakhir pada tahun 2016.
Nasrul mengatakan, rencana tersebut merusak ekosistem biota danau sehingga menyebabkan kekeringan dan hilangnya air.
“Proyek PLTA pernah menggali terowongan melalui Lubuk Alung. Akibatnya air bocor dan merembes, sehingga sawah kami mengering,” ujarnya.
Oleh karena itu, lanjutnya, masyarakat khawatir pembangunan PLTS akan berdampak sama terhadap lingkungan dan warga. “Kami khawatir dampak ini akan memperburuk kerusakan lingkungan dan biota Danau Sinkarak,” tutup Nasrul.
Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pemerintah berencana membangun dua PLTS terapung, satu di Danau Sinkarak dan Waduk Sagulin di Jawa Barat.
PLTS Singkarak memiliki kapasitas puncak 77 megawatt (MWp) dan akan memanfaatkan 0,26% total luas danau. Listrik yang dihasilkan akan didistribusikan melalui jaringan interkoneksi 150 kV untuk memenuhi kebutuhan energi bersih wilayah Sumatera. (YH/E-2)